Peran Moral dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan
A. PENDAHULUAN
Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekedar
pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan
teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
Dipandang dari sudut
filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai
pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu
sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif atau
pandangan yang berbeda (Suriasumantri Jujun S, 2000 : 231).
Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa
ajaran (agama) dan paham (ideologi)sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak
baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tujuan moral adalah
mengarahkan sikap dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan ajaran
dan paham yang dianutnya. Manfaat moral adalah menjadi pedoman untuk
bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam interaksi sosial yang dinilai
baik atau buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang akan bertindak menyimpang dari
norma dan nilai sosial dimana mereka hidup dan mencari penghidupan
(Prawironegoro Darsono, 2010:247).
Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk
mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut.
Tanggung jawab merupakan hal yang ada pada setiap makhluk hidup. Hal demikian
dapat dilihat pada manusia yang menunjukkan tanggung jawabnya dengan merawat
dan mendidik anaknya sampai dewasa. Tanggung jawab terdapat juga pada bidang
yang ditekuni oleh manusia, seperti negarawan, budayawan, dan ilmuwan. Tanggung
jawab tidak hanya menyangkut subjek dari tanggung jawab itu sendiri, seperti
makhluk hidup atau bidang yang ditekuni oleh manusia akan tetapi juga
menyangkut objek dari tanggung jawab, misalnya sosial, mendidik anak, memberi
nafkah, dan sebagainya.
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu
sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan
ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, namun penelaahan ini dimaksudkan
untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung
manusia sebagai obyek penelaahan (Suriasumantri Jujun S, 2000:253).
Artinya jika kita mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini
dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan
penyakit jantung dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa
alat yang memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan
jantung.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi
menelaah organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan
kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek
penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberi kemudahan,
melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.
Dalam makalah
ini akan dibahas tentang Peran moral dalam perkembangan ilmu pengetahuan untuk
membangun peradaban manusia. Dalam penulisan makalah ini tentunya bertujuan
supaya mahasiswa dapat memahami hubungan antara moral dan ilmu, dan fungsinya
untuk membangun peradaban manusia.
B. PEMBAHASAN
1. LANDASAN
ONTOLOGIS DALAM ILMU
Cabang utama metafisika adalah
ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara
satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran
manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu,
hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Cabang Ontologi, yaitu berada dalam
wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos
yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu
tentang keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah
objek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah
hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan
pengetahuan dan ilmu?
Ontologi merupakan
salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan
Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan
dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa
paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan
(3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada
ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang
bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada
jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang
berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan
pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan
lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme,
naturalisme, empirisme.
2.
LANDASAN EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN ILMU
Epistemologi merupakan cabang
filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin,
nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi juga
disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”,
“pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat
didefmisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.
Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah
pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan logos
yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu
tentang bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan yang
menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini,
kita akan mengarah ke cabang fisafat metodologi.
Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2) Bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu ?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?; 4)
Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan antara
pengetahuan a priori (pengetahuan
pra-pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan puma pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara:
kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan,
gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?
Langkah dalam epistemologi ilmu
antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten
dengan pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan
kumulatif pengetahuan ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun
argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada.
Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang
rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
3. LANDASAN
AKSIOLOGI DALAM ILMU
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti
nilai dan logos yang berarti
teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal
Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000:
105). Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam
tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu
tindakan moral yang melahirkan etika; Keduei,-
esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi
berasal dari Yunani, yaitu axion yang
artinya nilai dan logos yang artinya
ilmu. Dengan demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang
nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini
antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang
digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan
mengarah ke cabang fisafat Etika.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi
disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata benda
abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai
kata kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori
nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan
pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya,
ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal
sebagai value bound. Sekarang
mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan
dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak
pada dasar epistemologi raja: Jika hitam
katakan hitam, jika ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada
siapapun juga selain kepada kebenaratt yang nyata. Sedangkan secara ontologi
dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai antara yang baik dan yang buruk,
yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri,
2000:36).
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat
filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat
adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran.
Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah
selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran yang
ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu
masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu
jawabannya.
Kata
ilmu dalam bahasa Arab “ilm” yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang
berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire
yang berarti mempelajari , mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan
pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan
suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia
ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang
menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Ihsan Fuad,
2010:108).
Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus
dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan metode
ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan
pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga
di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah suatu
kumpulan pengetahuan yang sistematis (Surajiyo,2009:56-57).
Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan
enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude),
metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion),
dan pengaruh (effects) (Ihsan Fuad,2010:111-112).
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987) mempunyai
lima ciri pokok :
- Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
- Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
- Objektif, pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi
- Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu
- Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga (Surajiyo,2009:59).
Sifat
ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat yang
intinya adalah :
- Ilmu harus mempunyai objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya
- Ilmu harus mempunyai metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi
- Ilmu harus sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur
- Ilmu bersifat universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat khusus melainkan berlaku umum (Hartono Kasmadi, 1990:8-9 dalam Ihsan Fuad,2010:115-116).
Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti
adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian
sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai yang ada (Surajiyo,2009:147).
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral
adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber
langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang
seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, serta tulisan para
bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada
ditingkat yang sama (Surajiyo,2009:147).
Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika.
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam
melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang
penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul
dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan Fuad, 2010:271).
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang
terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di
mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh
manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus
mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah
perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia.
Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di
masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan
masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga
sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral juga dapat
diartikan sebagai sikap,perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang
pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara
hati, serta nasihat
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan
generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia (Ihsan Fuad,2010:280).
Jadi ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan
metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Manusia
harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk menerapkan ilmu
pengatahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan untuk
proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih lanjut.
Hubungan
antara ilmu dan moral
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan,
pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri Jujun S,
2000:229).
Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah
kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada
keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga
penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan
perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain,
perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia.
Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan
dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang
akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu (Jujun S. Suriasumantri dalam
Ihsan Fuad, 2010:273).
Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih
merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan
ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan
teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak.
Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan
strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang
dijunjungnya (Suriasumantri Jujun S,2000:234).
Ilmu tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan dan berkah
kepada kehidupan manusia, melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya
sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang ironis harus dibayar mahal oleh manusia
karena kehilangan sebagian arti dari status kemanusiaannya. Manusia sering
dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam
kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya (Jujun S.
Suriasumantri,1999 dalam Ihsan Fuad,2010:273).
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini
tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan
keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan
moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita
seyogyanya mengontrol pikiran kita (Suriasumantri Jujun S,2000:235).
Jadi secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan
dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari
obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmuah, mempunyai tiga dasar yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk
mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu
yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan
moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka
peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang
mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein
(Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada
ilmuan, sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam
kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional,
orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan
pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam
kaitannya dengan nilai sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap
individualistik, menghargai profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap
positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan
nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi,
efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh
perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya
dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya
bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada pertimbangan
pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia modem
dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari
legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986,
Semiawan,C 1993).
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi
dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Kreativitas individu yang didukung
oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan
ilmu yang berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab
sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya
terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena
dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya
selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual
namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun S, 2000:237).
Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan sosial, maka hal
itu berarti ilmu telah mengakibatkan perubahan sosial dan juga ilmu bertanggung
jawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab tersebut bersangkut
paut dengan masa lampau dan juga masa depan (Ihsan Fuad,2010:281).
Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang
akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu dan teknologi
kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang. Dengan
kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan juga harus dapat mempengaruhi opini
masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari
(Suriasumantri Jujun S,2000:241).
Tanggung jawab ilmu atas masa depan pertama-tama menyangkut usaha agar segala
sesuatu yang terganggu oleh campur tangan ilmu bakal dipulihkan kembali. Campur
tangan ilmu terhadap masa depan bersifat berat sebelah, karena sekaligus
tertuju kepada keseimbangan dalam alam dan terhadap keteraturan sosial.
Gangguan terhadap keseimbangan alam misalnya pembasmian kimiawi terhadap hama
tanaman, sistem pengairan, dan sebagainya. Perlu diingat bahwa keberatsebelahan
itu sebenarnya bukan hanya karena tanggung jawab ilmu saja, melainkan juga oleh
manusia sendiri (Ihsan Fuad, 2010: 282).
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan
teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang
teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan
teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu begitu saja tanpa
suatu pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan
dengan cara berpikir seorang awam (Suriasumantri Jujun S, 2000 : 243).
Untuk memahami ihwal tanggung jawab manusia, kiranya baik juga diketengahkan
dengan singkat alam pikiran Yunani Kuno. Menurut alam pikiran Yunani Kuno, ilmu
adalah theoria, sedangkan keteraturan alam dan keteraturan masyarakat selalu
menurut kodrat Ilahi. Setiap keteraturan adalah keteraturan ilahi dan alam
(karena mempunyai keteraturan) bahkan dianggap sebagai Ilahi atau sebagai hasil
pengaturan Ilahi (Ihsan Fuad, 2010: 285).
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya
bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui
kesalahan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun maka dia harus
bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan (Suriasumantri
Jujun S, 2000: 244).
Jadi bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara
intelektual maupun secara moral , maka salah satu penyangga masyarakat modern
akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan itu merupakan
tanggung jawab sosial seorang ilmuwan.
Tanggung jawab juga menyangkut penerapan nilai-nilai etis
setepat-tepatnya bagi ilmu di dalam kegiatan praktis dan upaya penemuan sikap
etis yang tepat, sesuai dengan ajaran tentang manusia dalam perkembangan
ilmu.
Sedangkan
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori
pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi
dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan
dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam
pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan
kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka jarang
temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh
temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan
demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif.
Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar.
Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan
prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui
pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut,
maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya
pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa
proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu
pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah yang
paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.
Epistemologi juga
membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang
ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian
mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan
pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara
memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis
terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya
sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk
menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang
maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk
mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri
(kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong dinamika
berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan
relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan
polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang dimiliki seseorang maupun
masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa keragaman seseorang atau
masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya serta situasi
sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam
mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap
satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda,
pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang berbeda. Kondisi demikian
sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah suatu kelaziman, tidak ada
yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat dipahami secara
memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut pandang,
sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban
manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya.
Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni
sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan
dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan
hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan
dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan
teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung
oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang
pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa
didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat
yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah
produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang
terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika
dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan
pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa
mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan
sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil
pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang
berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa
yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada
awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja
mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari
proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia
pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai
berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga
didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis
menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan
melalui teknologi, technology is an apllied of science (teknologi adalah
penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan teknologi itu
adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada
manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban
tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu
dikuasai.
Sikap
inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan,
bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan
tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang
dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan terciptanya “Momok
kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S. Suriasumantri,
2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga
dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai
teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan
oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta
terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial, manusia
modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi,
menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai
hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi
: dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan
oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu,
terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai
pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini
dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan
yang diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam
hubungannya dengan nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang
tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai
lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).
C. Kesimpulan
Ilmu atau
ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran
(agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik
yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu
dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman
pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan bertindak.
D. Saran
Sebagai pembelajar bukan hanya mentransper ilmu tapi juga mendidik pemelajar
agar memiliki moral dan tanggung jawab dalam bersikap maupun bertindak. Supaya
pembelajar dapat menjadi contoh bagi pemelajar dengan menunjukkan moral yang
baik sesuai ajaran agama dan ideologi, bertanggung jawab terhadap ilmu
yang disampaikan serta memberi manfaat bagi pemelajar maupun masyarakat.
Daftar Pustaka
Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.
Prawironegoro Darsono, Filsafat Ilmu Pendidikan,
Jakarta : Nusantara
Consulting, 2010.
Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer,
Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 2000.
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta :
Rineka Cipta,
2008.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia,
Jakarta :
Bumi Aksara, 2009.
.
Excellent....
BalasHapus